A. PENDAHULUAN
Perkembangan dan kemajuan dunia kesehatan yang
pesat belakangan ini telah membawa masalah yang pelik bagi tenaga kesehatan
seperti DNR, witholding and witdrawing. Pada pasien belum meninggal namun
tindakan terapeutik/paliatif tidak ada gunanya lagi sehingga bertentangan
dengan ilmu kesehatan, maka tindakan-tindakan yang membantu pasien dapat
dihentikan. Penghentian tersebut sebaiknya dikonsulkan dengan minimal 1 dokter
lain. Penghentian bantuan hidup tidak berarti meninggalkan pasien, menghentikan
terapi yang tidak efektif. Tindakan luar biasa untuk bantuan hidup adalah
dirawat di ICU, RJP, pengendalian disritmia, intubasi trakea, ventilasi
mekanis, vasoaktif kuat dan nutrisi parenteral total.
B. PEMBAHASAN
1. DNR
Tujuan dari pelayanan kegawatdaruratan kardiovaskuler adalah
untuk mempertahankan hidup, mengembalikan kesehatan
seperti semula, mengurangi
penderitaan, membetasi
kecacatan dan mengembalikan penderita dari kematian klinis. Keputusan tentang Resusitasi
Jantung Paru (RJP) sangat rumit dan sering dibuat dalam hitungan detik oleh tenaga medik tanpa mengetahui
apakah penderita mempunyai advanced
directives atau tidak. Advanced
directives adalah dokumen yang sah secara hukum, yang ditulis sebelum
penderita menderita penyakit
yang bersifat incapacitating. Petunjuk yang ada dalam advanced directives ini dapat
membebastugaskan tenaga medik dalam
mengambil keputusan, dengan kata lain advanced directives adalah
pernyataan tentang keinginan penderita mengenai tindakan medik apa yang sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukan pada waktu penderita
itu dalam keadaan incompetency.
Advanced directives adalah pernyataan ekspresi dari
pikiran seseorang, tentang kepeduliannya mengenai
keinginan, atau preferensinya
pada akhir kehidupan. Advanced directives dapat
didasarkan percakapan penderita
atau kata-kata terakhir, petunjuk tertulis,
surat wasiat atau durable power of attorney. Di Amerika Serikat validitas hukum advanced directives ini bervariasi dari yuridiksi ke yuridiksi.
Pengadilan juga lebih mempertimbangkan advanced directives yang
dibuat secara tertulis daripada
kata-kata pasien yang diingat oleh wali/pengampu.
Advanced directives dan living will harus dipertimbangkan kembali
secara
berkala
karena keinginan pasien dapat berubah dari waktu ke waktu
Venneman et al,
berpendapat bahwa Do Not Resuscitation adalah bermasalah dan harus diganti dengan membiarkan
mati wajar atau Allow Natural Death (AND) akan tetapi beberapa penulis mengatakan bahwa Do Not Resuscitation(DNR) tidak sama dengan Allow Natural
Death (AND), berapa studi menyimpulkan bahwa 85% dari
tenaga kesehatan umumnya mendukung perubahan DNR ke AND, dan pada umumnya mereka sepakat bahwa
AND bukan urutan pengganti DNR.
RJP telah disetujui oleh American Heart Association tahun 1974 dan
sejak itu, semakin banyak rumah sakit dan asosiasi medis profesional
telah mengadopsi pedoman untuk DNR orders. DNR
secara umum berarti bahwa pasien
tidak akan menerima RJP pada saat cardiac arrest.
Do Not
Resusciation (DNR) adalah sebuah perintah untuk tidak melakukan resusitasi, hal tersebut merupakan pesan bagi
tenaga kesehatan di ruang perawatan intensif/ruangan lain untuk tidak melakukan
resusitasi jantung paru (RJP) apabila terjadi permasalahan darurat pada jantung
pasien atau pernapasan berhenti. Keputusan ini atas permintaan pasien atau
keluarganya yang ditandatangani oleh dokter penanggungjawab ruangan.
DNR merupakan
salahsatu keputusan yang sangat sulit, karena hal ini berkaitan dengan moral
dan etik. Tenaga kesehatan termasuk didalamnya dokter dan perawat harus
menghargai autonomi pasien untuk tidak dilakukan RJP ketika henti jantung henti
napas, namun di sisi lain tenaga kesehatan harus melakukan yang terbaik untuk
keselamatan pasien (beneficience) dan tidak merugikan pasien (Non
maleficience). Ini terjadi pada pasien pada penyakit kronis dan terminal,
pasien yang dengan kontra indikasi RJP atau pasien yang dicap eutanasia.
Pasien DNR
biasanya sudah diberikan tanda untuk melarang RJP di bajunya atau di pintu
masuk ada tulisan “DNR”. Pasien DNR tidak mengubah perawatan medis yang
diterima. Pasien masih diperlakukan dengan cara yang sama, perawatan dan obat
masih terus diberikan, sampai pasien mengalami henti jantung dan henti napas
sendiri.
2. WITHHOLDING dan WITHDRAWING
Ketika kondisi pasien telah menjadi tidak ada
harapan lagi, maka withdrawing seringkali tepat untuk menghentikan sebagian
atau seluruh terapi yang sudah terlanjur diberikan. Sedangkan with holding
tanpa menghentikan terapi yang sedang diberikan, tetapi tidak lagi memberi
terapi baru yang dipertanyakan manfaatnya. Mengingat ruang ICU itu mahal dan
terbatas. Withdrawing/ with holding dapat diterima dan dibenarkan apabila
penanganan medis hanya memperpanjang proses kematian. namun banyak profesi
kesehatan merasa tidak nyaman karena merasa menjadi penyebab kematian padahal
penyebab kematian pada pasien adalah penyakit utama pasien bukan
withdrawing/with holding life supports.
Di Unit Perawatan Intensif
(ICU) pasien yang meninggal
sebagai akibat dari keputusan
dipertahankannya (withhold) atau
ditariknya (withdraw)
alat-alat yang mendukung
kehidupan (life support) adalah sekitar 70% - 90%.
Presentasi ini meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu,
dan alasan yang
paling umum untuk dilakukannya tindakan
medis untuk mempertahankan (withhold) atau menarik kembali
(withdraw) alat-alat penunjang
kehidupan tersebut adalah persepsi bahwa pasien mempunyai prognosa
yang buruk. RJP adalah tindakan medis yang paling sering
dipertahankan dan ventilasi mekanis adalah tindakan medis
yang paling sering ditarik kembali,
kebanyakan unit perawatan intensif dokter menganjurkan withhold dan withdraw berdasarkan persepsi futility
Beberapa dokter/tenaga kesehatan lebih menyukai
with holding misal dialisis pada pasien gagal ginjal irreversibel tidak
dilakukan bila pasien tidak akan mendapat manfaat, mereka yakin gagal ginjal
akan menyebabkan kematian. Mematikan ventilator saat pasien masih hidup tidak
selalu salah secara moral. Jika kondisi pasien tidak ada harapan lagi maka
pemakaian ventilator akan sia-sia. Bila diputuskan pasien diberi kesempatan
untuk meninggal secara wajar dengan mematikan ventilator, maka sesudah mesin
dimatikan, dicoba untuk mengembalikan nafas spontan. Apabila gagal, terapi
ventilator tidak lagi diberikan dan pasien dibiarkan meninggal secara wajar.
Namun bila secara tidak terduga pasien dapat bernapas lagi maka upaya
menyelamatkan pasien dilanjutkan kembali.
Pengelolaan Akhir Kehidupan menurut PerMenKes nomor 519 /menkes/ per/ III/ 2011 tentang Pedoman penyelenggaraan
pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah sakit. Bahwa pengelolaan akhir kehidupan meliputi penghentian bantuan hidup (withdrawing life support) dan penundaan bantuan hidup (withholding life support). Keputusan
withdrawing/withholding
dilakukan pada pasien yang
dirawat di ruang rawat intensif
(ICU
dan HCU). Keputusan penghentian atau penundaan bantuan hidup adalah keputusan
medis dan etis. Keputusan untuk penghentian atau penundaan bantuan hidup
dilakukan oleh 3 (tiga) dokter yaitu dokter spesialis
anestesiologi atau dokter
lain yang memiliki kompetensi
dan
2 (dua) orang dokter lain yang
ditunjuk oleh komite
medis rumah sakit.
Adapun prosedur pemberian
atau penghentian bantuan hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien
di ICU atau HCU, yaitu:
a.
Bantuan total dilakukan
pada pasien sakit atau cedera kritis yang diharapkan tetap dapat hidup tanpa kegagalan otak berat yang menetap. Walaupun sistem organ vital juga terpengaruh,
tetapi kerusakannya masih reversibel. Semua usaha yang
memungkinkan harus dilakukan
untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas
b.
Semua bantuan
kecuali RJP (DNAR
= Do Not Attempt Resuscitation), dilakukan pada pasien-pasien dengan fungsi otak yang tetap ada
atau dengan harapan pemulihan otak, tetapi mengalami kegagalan
jantung, paru atau organ yang lain, atau dalam tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.
Tidak dilakukan tindakan-tindakan luar biasa, pada pasien-pasien
yang jika diterapi hanya memperlambat waktu kematian dan bukan memperpanjang kehidupan. Untuk pasien ini dapat dilakukan penghentian atau penundaan bantuan hidup. Pasien
yang masih sadar tapi tanpa harapan, hanya dilakukan
tindakan terapeutik/paliatif agar pasien merasa
nyaman dan bebas nyeri.
d.
Semua bantuan hidup dihentikan
pada pasien dengan kerusakan fungsi batang
otak yang ireversibel. Setelah
kriteria Mati Batang Otak (MBO) yang ada terpenuhi, pasien ditentukan
meninggal dan disertifikasi MBO serta
semua terapi dihentikan.Jika dipertimbangkan donasi organ, bantuan jantung paru pasien diteruskan sampai organ yang diperlukan telah diambil. Keputusan
penentuan MBO dilakukan oleh 3(tiga) dokter yaitu dokter
spesialis anestesiologi atau dokter lain yang memiliki kompetensi, dokter
spesialis saraf dan 1 (satu) dokter lain yang ditunjuk oleh
komite medis rumah sakit.
C. PENUTUP
1. Simpulan
Keputusan ini sangat sulit dan kontroversial bagi tenaga kesehatan. Ketika
kondisi pasien telah menjadi tidak ada harapan lagi, maka withdrawing
seringkali tepat untuk menghentikan sebagian atau seluruh terapi yang sudah
terlanjur diberikan. Sedangkan with holding tanpa menghentikan terapi yang
sedang diberikan, tetapi tidak lagi memberi terapi baru yang dipertanyakan
manfaatnya. Mengingat ruang ICU itu mahal dan terbatas.
2. Saran
Semua pasien dan keluarga
membuat keputusan ini harus sedini mungkin tentang keinginan terhadap status
pasien. Hal ini untuk menghindari keputusan menit terakhir yang dapat
seringkali menyebabkan anggota keluarga merasa seperti mereka membuat keputusan
tergesa-gesa.
DAFTAR PUSTAKA
Basbeth F& Sampurna B.Analisis
Etik Terkait Resusuitasi Jantung Paru. FKUI.
Curtis R. (2005). Interventions to Improve Care During
Withdrawal of Life-Sustaining Treatments. Journal of Palliative Medicine.
Vol 8.
Fields L. (2007). DNR Does Not Mean No Care. Journal
of Neuroscience Nursing. Vol 39.
Peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 519/menkes/per/III/2011tentang Pedoman penyelenggaraan
pelayanan anestesiologi dan terapi intensif di rumah sakit.
Werth, James L. (2005). Concerns About Decisions Related
To Withholding/ Withdrawing Life-Sustaining Treatment and Futility for Persons
With Disabilities. Journal of Disability Policy Studies.Vol 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar