I. PENDAHULUAN
Status
epileptikus merupakan suatu keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian
kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang
yang berlangsung lebih dari 30 menit. Bisa juga dikatakan bahwa apabila
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus
(Brophy G, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck T, Glauser T, et all 2012).
Insiden
status epileptikus di Amerika Serikat diperkirakan antara 102.000 dan 152.000
per tahun dengan 55.000 kasus yang fatal. Rata-rata angka kematian dari 17%
sampai 23% dan rata-rata angka kesakitan dari 10% sampai 23% (Behrouz R, Chen
S, Tatum W, 2009). Insiden di negara Asia seperti di negara cina kejadian
epilepsi adalah 35/100.000 orang pertahun dengan puncak insiden usia 10-30
tahun, sedangkan di India 49,3/100.000 orang per tahun dengan puncak insiden
usia 10-19 tahun. Di negara berkembang insidens epilepsi lebih tinggi 100-190/100.000
orang per tahun dengan puncaknya pada usia dewasa muda.
Status
epileptikus tonik klonik, banyak berasal dari serangan akut pada otak dengan suatu fokus serangan. Penyebab status
epileptikus yang banyak diketahui adalah infark otak mendadak, anoksia otak,
bermacam-macam gangguan metabolisme, tumor otak, menghentikan kebiasaan minuman
keras secara mendadak, atau berhenti minum obat anti kejang. Penanganan status
epileptikus yang tidak teratasi dalam satu jam akan mengakibatkan kerusakan
jaringan otak yang permanen. Oleh karena itu, gejala ini harus dapat dikenali
dan ditanggulangi secepat mungkin. Rata-rata 15% penderita meninggal, walaupun
pengobatan dilakukan dengan tepat. Kurang lebih 60-80% penderita yang bebas
dari kejang setelah lebih dari satu jam akan menderita cacat neurologis
(Behrouz R, Chen S, Tatum W, 2009).
Pengenalan
terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik klonik umum merupakan bentuk status
epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira
44 sampai 74%. Kejang didahului dengan tonik klonik umum atau kejang parsial
yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik klonik umum,
serangan berawal dengan serial kejang tonik klonik umum tanpa pemulihan
kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi. Setiap kejang
berlangsung dua sampai tiga menit dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot
aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis
pada fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi
dan peningkatan tekanan darah, hiperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia
dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan
asidosis respiratorik dan metabolik. Tingkat kesadaran pasien bisa mengalami perubahan bahkan
kehilangan kesadarannya.
Manajemen awal pada pasien status epileptikus adalah bantuan hidup
dasar, mengkaji dan menjaga kepatenan jalan napas, serta memberikan oksigen.
Tekanan darah dipertahankan dengan pemberian garam fisiologis dan bila perlu
diberi vasopresor. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, analisa gas darah
selanjutnya pemberian obat anti epilepsi (Arif H, Hirsch L, 2008).
Berdasarkan
pemaparan di atas, status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan sistem
neurologi yang sering terjadi, yang memerlukan penatalaksanaan secara cepat dan
tepat dimana pasien berada dalam ancaman kematian karena adanya penurunan perfusi
ke otak yang dapat menyebabkan kerusakan otak yang irreversibel. Jika
terlambat dilakukan penanganan, maka
prognosisnya akan memburuk dan berakibat fatal bahkan dapat menimbulkan ancaman
kematian pada pasien. Sehingga hal ini dapat meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas. Oleh karena itu diperlukan pemahaman mengenai penanganan
kegawatdaruratan pada kasus status
epileptikus secara cepat dan tepat sehingga hal-hal tersebut dapat
dihindarkan.
II.
HASIL PENELITIAN / ARTIKEL REVIEW / JURNAL
TERKAIT PENATALAKSANAAN STATUS EPILEPTIKUS
Kejang bersifat mendadak, terjadi gangguan
sinyal otak secara temporer bisa menyebabkan kehilangan kesadaran atau
perubahan tingkat kesadaran, gejala motorik abnormal, kelemahan sistem saraf
otonom seperti halusinasi lihat dan dengar. Apabila kejangnya terus-terusan
maka dikatakan epilepsi. Status epileptikus merupakan kegawatan neurologis umum
yang mengancam kehidupan dengan karakteristik kejang yang memanjang atau keadaan
kejang persisten selama lima menit atau lebih atau rangkaian kejang tanpa
adanya pemulihan kesadaran diantara kejang. Status epileptikus tonik klonik
dimulai dengan ekstensi otot yang kaku secara tiba-tiba kemudian diikuti
kontraksi yang ritmik. Setelah itu pasien menjadi bingung, penurunan kesadaran.
Oleh karena itu, pasien yang terdiagnosa status epileptikus harus segera
mendapatkan perawatan. Tujuan pengobatan pada pasien dengan stattus epileptikus
ini adalah terminasi dengan cepat keadaan klinis pasien dan aktivitas kejang
elektriknya (Brophy G, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck T, Glauser T, et
all 2012 & Meikerkord H, Boon P, Engelsen B, Gocke K, Shorvon S, Tinuper P,
et all 2010 & Patrick R, 2008).
Tujuan
utama perawatan adalah menghentikan kegawatdaruratan dan meminimalkan kerusakan
otak. Resusitasi dilakukan untuk memperbaiki keadaan metabolik pasien dan
terminasi kejang yang harus dilakukan dengan cepat, dengan cara menstabilkan
jalan napas, pola napas secara non invasif dengan head tilt untuk
mencegah snoring dan pemberian oksigen, apabila onset kejadian sudah lama atau
akan diberikan obat anti epileptikus intravena secara kontinyu bisa dilakukan
intubasi. Apabila intubasi diperlukan berikan midazolam intravena di loading
0,2 mg/kg diulang setiap lima menit 0,2-0,4 mg/kg secara bolus sampai kejangnya
berhenti. Batas dosis maksimum total loading 2 mg/kg. Pasien yang sedang dalam
status epileptikus pemberian midazolam secara intramuskuler setidak-tidaknya
memiliki efikasi dan keamanan yang serupa dengan pemberian lorazepam secara
intravena untuk perawatan penghentian kejang pre hospital (Behrouz R, Chen S,
Tatum W, 2009 & Brophy G, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck T, Glauser
T, et all 2012).
Selanjutnya
monitor tanda-tanda vital, saturasi oksigen, tekanan darah, nadi, gambaran
elektrokardiografi. Apabila tekanan sistolik < 90 mmHg atau MAP < 70 mmHg
bisa diberikan vasopresor. Pemeriksaan glukosa darah menggunakan finger stick. Pemberian terapi anti epilepticus drugs
(AED) intravena, benzodiazepine untuk menghentikan kejang. Pemberian terapi
awal adalah dengan pemberian lorazepam 0,1 mg/kg. Hal ini tergantung dengan
kondisi umum pasien, perawat atau dokter bisa membagi untuk memulai perawatan
dengan dosis rendah 4 mg dan mengulang dosisnya kalau status epileptikusnya
tidak hilang dalam waktu 10 menit (Brophy G, Bell R, Claassen J, Alldredge B,
Bleck T, Glauser T, et all 2012& Behrouz R, Chen S, Tatum W, 2009 ).
Pemberian
lorazepam 4 mg/kg telah terbukti efektif kurang lebih 80% pasien yang dirawat
dengan status epileptikus berhasil membaik. Apabila lorazepam tidak tersedia
bisa diberikan 10 mg diazepam secara langsung diikuti oleh phenitoin 18 mg/kg.
Phenitoin diberikan secara cepat dengan rata-rata infus 50 mg/menit. Tetapi
harus diingat bahwa pemberian diazepam dan phenitoin selama 40 menit sebanding
dengan pemberian lorazepam selama 5 menit. Terapi benzodiazepin diikuti oleh
terapi antikonvulsan (fosphenitoin 10 mg PE/kg atau phenitoin 10 mg/kg).
Setelah dosis fosphenitoin diberikan bisa ditambah antikonvulsan lain seperti
phenobarbital 10-20 mg/kg, 25-50 mg/menit, valproic acid 20 mg/kg atau
levetiracetam 20mg/kg. Untuk pasien dengan riwayat idiopatik epilepsi dan
resisten terhadap terapi inisial benzodiazepin bida diberikan midazolam,
profopol atau phenobarbital sodium (Meierkord H, Boon P, Gocke K, Shorvon S,
Tinuper P, & Holtkamp M. (2010); Arif H, Hirsch L, 2008 & Behrouz R,
Chen S, Tatum W, 2009).
Resusitasi
cairan untuk menstabilkan volume darah, resusitasi nutrisi pemberian tiamin
sebelum dextrose untuk mengatasi hipoglikemia. Pemeriksaan neurologi dilakukan
kemudian pemeriksaan laboratorium untuk melihat ancaman kondisi metabolik
pasien. Pemasangan kateter urin untuk mengevaluasi sirkulasi sistemik. Pemeriksaan
darah lengkap, analisa gas darah, elektrolit, dan fungsi ginjal dan hepar juga
skrining toksikologi. Agar diagnosa akurat maka harus dilakukan pemeriksaan Electroencephalografi
(EEG) (Brophy G, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck T, Glauser T, et all
2012 & Arif H, Hirsch L, 2008).
Pada
saat pertama mendapati pasien dengan kejang seorang tenaga kesehatan harus bisa
menentukan apakah ini kejang epileptik atau kejang yang lain. Walaupun
diagnosis epilepsi lebih didasarkan atas gambaran klinis saat terjadi bangkitan
(semiologi), namun temuan pemeriksaan EEG dengan interpretasi yang didukung
data klinis sering dapat membantu diagnosis. Diantara temuan EEG yang memiliki
kemaknaan tinggi pada kasus epilepsi adalah gelombang interictal
epileptiform discharges (IED), yaitu gelombang epileptik yng muncul
diantara bangkitan. Terdapat konsensus mengenai IED adalah bersifat
paroksismal, terdapat perubahan yang tiba-tiba
pada polaritas, spike bila durasi < 70 msec, sharp wave dengan durasi 70-200 msec, memiliki bentuk
fisiologis yang melibatkan lebih dari satu elektrode (Catur A, 2012).
Status
epileptikus tonik klonik dimulai dengan ekstensi otot yang kaku secara
tiba-tiba kemudian diikuti kontraksi yang ritmik. Setelah itu pasien menjadi
bingung, penurunan kesadaran. Oleh karena itu, pasien yang terdiagnosa status
epileptikus harus segera mendapatkan perawatan terutama membutuhkan alat bantu untuk
pernapasan berupa ventilator. Beberapa peneliti melaporkan bahwa penggunaan
ventilator mode CPAP pada pasien dengan epilepsi berhasil menurunkan frekuensi
kejang (Vendrame M, auerbach S, Loddenkemper T, Kothare S, Montouris G, 2011)
III.
PEMBAHASAN
Status
epileptikus merupakan suatu keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian
kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang
yang berlangsung lebih dari 30 menit. Bisa juga dikatakan bahwa apabila
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
Tujuan
utama perawatan adalah menghentikan kegawatdaruratan dan meminimalkan kerusakan
otak. Resusitasi dilakukan untuk memperbaiki keadaan metabolik pasien dan
terminasi kejang yang harus dilakukan dengan cepat, dengan cara menstabilkan
jalan napas, pola napas secara non invasif dengan head tilt untuk
mencegah snoring dan pemberian oksigen, apabila onset kejadian sudah lama atau
akan diberikan obat anti epileptikus intravena secara kontinyu bisa dilakukan
intubasi. Apabila intubasi diperlukan berikan midazolam intravena di loading
0,2 mg/kg diulang setiap lima menit 0,2-0,4 mg/kg secara bolus sampai kejangnya
berhenti. Batas dosis maksimum total loading 2 mg/kg.
Pemberian
terapi awal adalah dengan pemberian lorazepam 0,1 mg/kg. Apabila lorazepam
tidak tersedia bisa diberikan 10 mg diazepam secara langsung diikuti oleh
phenitoin 18 mg/kg. Phenitoin diberikan secara cepat dengan rata-rata infus 50
mg/menit. Tetapi harus diingat bahwa pemberian diazepam dan phenitoin selama 40
menit sebanding dengan pemberian lorazepam selama 5 menit. Terapi benzodiazepin
diikuti oleh terapi antikonvulsan (fosphenitoin 10 mg PE/kg atau phenitoin 10
mg/kg). Setelah dosis fosphenitoin diberikan bisa ditambah antikonvulsan lain
seperti phenobarbital 10-20 mg/kg, 25-50 mg/menit, valproic acid 20 mg/kg atau
levetiracetam 20mg/kg. Untuk pasien dengan riwayat idiopatik epilepsi dan
resisten terhadap terapi inisial benzodiazepin bida diberikan midazolam,
profopol atau phenobarbital sodium.
Tn E
usia 32 tahun mengalami status epileptikus. Tiga hari yang lalu Tn E kehabisan
obat luminal dan tidak mengkonsumsi obat. Sejak 10 jam sebelum masuk ke
rumahsakit, Tn E mengalami kejang-kejang berupa mata menghadap keatas, kaku dan
klojotan (kejang tonik klonik) di seluruh tubuh. Keluhan dirasakan terus
menerus, pasien tidak sadar. Jam 24.00 WIB pasien masuk ke ruang resusitasi IGD
RSHS Bandung dalam keadaan penurunan kesadaran, terpasang oropharingeal
airways (OPA) no 4, oksigen 10 liter dengan non rebreathing mask,
infus terpasang dengan cairan ringer laktat, dipasang monitor EKG dengan BP
123/68 mmHg, HR 133x/Menit, RR 30x/menit. Untuk mempertahankan jalan napas dilakukan
intubasi yang sebelumnya diberikan pre medikasi pentanyl 1 ampul IV dan
propofol 200gram. Jam 24.05 WIB ETT no 7,5 terpasang dengan kedalaman 21 cm,
kemudian dilakukan suction dikarenakan sekret banyak. Jam 24.15 WIB terpasang
phenitoin drip 900 mg dalam 50 cc Nacl 0,9 %. kebutuhan 50 mg/jam → 18 cc/jam. Jam 24.45 WIB dipasang
ventilator mode CPAP dengan FiO2 35% dan PEEP 5. Jam 01.00
WIB midazolam drip 45 mg dalam 45 Nacl 0,9% kebutuhan 2 mg/jam → 2cc/jam. Jam 01.30 WIB phenitoin
dinaikkan menjadi 22 cc/jam. Jam 01.30 WIB Cek AGD dan elektrolit lengkap. EEG
dan CT scan direncanakan untuk dilakukan.
Pada
saat dilakukan pengkajian jam 07.00 WIB klien mengalami penurunan kesadaran,
terpasang ventilator mode CPAP dengan FiO2 35% dan PEEP 5. Klien
juga terpasang ETT, mayo, produksi sekret (+), DC (+)urin
berwarna kuning jernih, infus di
tangan kanan dengan cairan ringer laktat. HR 115x/menit, RR 14x/menit, BP
132/82 mmHg, suhu 36 0 c.
Berdasarkan data diatas Tn E mengalami status epileptikus tonik klonik
umum. Hal tersebut merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering
dijumpai. Kejang didahului dengan tonik klonik umum atau kejang parsial yang
cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik klonik umum,
serangan berawal dengan serial kejang tonik klonik umum tanpa pemulihan
kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi. Setiap kejang
berlangsung dua sampai tiga menit dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot
aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis
pada fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi
dan peningkatan tekanan darah, hiperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia
dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan
asidosis respiratorik dan metabolik. Tingkat kesadaran pasien bisa mengalami perubahan bahkan
kehilangan kesadarannya. Status epileptikus tonik klonik, banyak berasal dari
serangan akut pada otak dengan suatu
fokus serangan. Penyebab status epileptikus yang banyak diketahui adalah infark
otak mendadak, anoksia otak, bermacam-macam gangguan metabolisme, tumor otak,
menghentikan kebiasaan minuman keras secara mendadak, atau berhenti minum obat
anti kejang.
Tn E
menderita epilepsi idiopatik sejak umur 7 bulan. Dia terus menerus mengkonsumsi
phenitoin dan luminal. Tiga hari yang lalu Tn E kehabisan obat luminal dan
tidak mengkonsumsi obat. Sehingga bisa disimpulkan bahwa Tn E mengalami status
epileptikus tonik klonik umum karena putus obat/ berhenti minum obat anti
kejang.
IV.
SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
Status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan sistem neurologi yang
sering terjadi, yang memerlukan penatalaksanaan secara cepat dan tepat dimana
pasien berada dalam ancaman kematian karena adanya penurunan perfusi ke otak
yang dapat menyebabkan kerusakan otak yang irreversibel. Jika terlambat dilakukan penanganan, maka prognosisnya akan
memburuk dan berakibat fatal bahkan dapat menimbulkan ancaman kematian pada
pasien. Sehingga hal ini dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.
2. Saran
Pengenalan terhadap status
epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah keterlambatan penanganan.
Edukasi kepada keluarga sangat penting dilakukan untuk pre hospitalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arif H, Hirsch L. (2008).
Treatment of Status Epilepticus. Associate Clinical Professor of Neurologi
Behrouz R, Chen S, Tatum W.
(2009). Evaluation and Management of Status Epilepticus in The Neurological
Intensive Care Unit. JAOA. Volume 109
Brophy G, Bell R, Claassen
J, Alldredge B, Bleck T, Glauser T, et all. (2012). Guidelines for The
Evaluation and Management of Status Epilepticus. Neurocriticalcare society.
Volume 17
Catur A. (2012). Pemeriksaan
EEG untuk diagnosis dan monitoring pada kelainan neurologi. Medica
Hospitalia. Volume 1
Meierkord H, Boon P, Gocke
K, Shorvon S, Tinuper P, & Holtkamp M. (2010). EFNS guideline on the
management of status epilepticus in adult. European Journal of Neurology.
Vol 17 : 348-355
Vendrame M, auerbach S,
Loddenkemper T, Kothare S, Montouris G. (2011). Effect of continuous positive
airway pressure treatment on seizure control in patients with obstructive sleep
apneua and epilepsy. Epelepsia. Vol 52 (11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar