Selasa, 09 Januari 2018

PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN STATUS EPILEPTIKUS



I.     PENDAHULUAN
     Status epileptikus merupakan suatu keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Bisa juga dikatakan bahwa apabila seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus (Brophy G, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck T, Glauser T, et all 2012).
     Insiden status epileptikus di Amerika Serikat diperkirakan antara 102.000 dan 152.000 per tahun dengan 55.000 kasus yang fatal. Rata-rata angka kematian dari 17% sampai 23% dan rata-rata angka kesakitan dari 10% sampai 23% (Behrouz R, Chen S, Tatum W, 2009). Insiden di negara Asia seperti di negara cina kejadian epilepsi adalah 35/100.000 orang pertahun dengan puncak insiden usia 10-30 tahun, sedangkan di India 49,3/100.000 orang per tahun dengan puncak insiden usia 10-19 tahun. Di negara berkembang insidens epilepsi lebih tinggi 100-190/100.000 orang per tahun dengan puncaknya pada usia dewasa muda.
     Status epileptikus tonik klonik, banyak berasal dari serangan akut pada otak  dengan suatu fokus serangan. Penyebab status epileptikus yang banyak diketahui adalah infark otak mendadak, anoksia otak, bermacam-macam gangguan metabolisme, tumor otak, menghentikan kebiasaan minuman keras secara mendadak, atau berhenti minum obat anti kejang. Penanganan status epileptikus yang tidak teratasi dalam satu jam akan mengakibatkan kerusakan jaringan otak yang permanen. Oleh karena itu, gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat mungkin. Rata-rata 15% penderita meninggal, walaupun pengobatan dilakukan dengan tepat. Kurang lebih 60-80% penderita yang bebas dari kejang setelah lebih dari satu jam akan menderita cacat neurologis (Behrouz R, Chen S, Tatum W, 2009).
     Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik klonik umum merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74%. Kejang didahului dengan tonik klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi. Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis pada fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hiperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Tingkat kesadaran  pasien bisa mengalami perubahan bahkan kehilangan kesadarannya.
     Manajemen awal pada pasien status epileptikus adalah bantuan hidup dasar, mengkaji dan menjaga kepatenan jalan napas, serta memberikan oksigen. Tekanan darah dipertahankan dengan pemberian garam fisiologis dan bila perlu diberi vasopresor. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, analisa gas darah selanjutnya pemberian obat anti epilepsi (Arif H, Hirsch L, 2008).
     Berdasarkan pemaparan di atas, status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan sistem neurologi yang sering terjadi, yang memerlukan penatalaksanaan secara cepat dan tepat dimana pasien berada dalam ancaman kematian karena adanya penurunan perfusi ke otak yang dapat menyebabkan kerusakan otak yang irreversibel. Jika terlambat dilakukan penanganan, maka prognosisnya akan memburuk dan berakibat fatal bahkan dapat menimbulkan ancaman kematian pada pasien. Sehingga hal ini dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu diperlukan pemahaman mengenai penanganan kegawatdaruratan pada kasus status epileptikus secara cepat dan tepat sehingga hal-hal tersebut dapat dihindarkan.

  II.          HASIL PENELITIAN / ARTIKEL REVIEW / JURNAL TERKAIT PENATALAKSANAAN STATUS EPILEPTIKUS
          Kejang bersifat mendadak, terjadi gangguan sinyal otak secara temporer bisa menyebabkan kehilangan kesadaran atau perubahan tingkat kesadaran, gejala motorik abnormal, kelemahan sistem saraf otonom seperti halusinasi lihat dan dengar. Apabila kejangnya terus-terusan maka dikatakan epilepsi. Status epileptikus merupakan kegawatan neurologis umum yang mengancam kehidupan dengan karakteristik kejang yang memanjang atau keadaan kejang persisten selama lima menit atau lebih atau rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang. Status epileptikus tonik klonik dimulai dengan ekstensi otot yang kaku secara tiba-tiba kemudian diikuti kontraksi yang ritmik. Setelah itu pasien menjadi bingung, penurunan kesadaran. Oleh karena itu, pasien yang terdiagnosa status epileptikus harus segera mendapatkan perawatan. Tujuan pengobatan pada pasien dengan stattus epileptikus ini adalah terminasi dengan cepat keadaan klinis pasien dan aktivitas kejang elektriknya (Brophy G, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck T, Glauser T, et all 2012 & Meikerkord H, Boon P, Engelsen B, Gocke K, Shorvon S, Tinuper P, et all 2010 & Patrick R, 2008).
     Tujuan utama perawatan adalah menghentikan kegawatdaruratan dan meminimalkan kerusakan otak. Resusitasi dilakukan untuk memperbaiki keadaan metabolik pasien dan terminasi kejang yang harus dilakukan dengan cepat, dengan cara menstabilkan jalan napas, pola napas secara non invasif dengan head tilt untuk mencegah snoring dan pemberian oksigen, apabila onset kejadian sudah lama atau akan diberikan obat anti epileptikus intravena secara kontinyu bisa dilakukan intubasi. Apabila intubasi diperlukan berikan midazolam intravena di loading 0,2 mg/kg diulang setiap lima menit 0,2-0,4 mg/kg secara bolus sampai kejangnya berhenti. Batas dosis maksimum total loading 2 mg/kg. Pasien yang sedang dalam status epileptikus pemberian midazolam secara intramuskuler setidak-tidaknya memiliki efikasi dan keamanan yang serupa dengan pemberian lorazepam secara intravena untuk perawatan penghentian kejang pre hospital (Behrouz R, Chen S, Tatum W, 2009 & Brophy G, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck T, Glauser T, et all 2012).
     Selanjutnya monitor tanda-tanda vital, saturasi oksigen, tekanan darah, nadi, gambaran elektrokardiografi. Apabila tekanan sistolik < 90 mmHg atau MAP < 70 mmHg bisa diberikan vasopresor. Pemeriksaan glukosa darah  menggunakan finger stick.  Pemberian terapi anti epilepticus drugs (AED) intravena, benzodiazepine untuk menghentikan kejang. Pemberian terapi awal adalah dengan pemberian lorazepam 0,1 mg/kg. Hal ini tergantung dengan kondisi umum pasien, perawat atau dokter bisa membagi untuk memulai perawatan dengan dosis rendah 4 mg dan mengulang dosisnya kalau status epileptikusnya tidak hilang dalam waktu 10 menit (Brophy G, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck T, Glauser T, et all 2012& Behrouz R, Chen S, Tatum W, 2009 ).
     Pemberian lorazepam 4 mg/kg telah terbukti efektif kurang lebih 80% pasien yang dirawat dengan status epileptikus berhasil membaik. Apabila lorazepam tidak tersedia bisa diberikan 10 mg diazepam secara langsung diikuti oleh phenitoin 18 mg/kg. Phenitoin diberikan secara cepat dengan rata-rata infus 50 mg/menit. Tetapi harus diingat bahwa pemberian diazepam dan phenitoin selama 40 menit sebanding dengan pemberian lorazepam selama 5 menit. Terapi benzodiazepin diikuti oleh terapi antikonvulsan (fosphenitoin 10 mg PE/kg atau phenitoin 10 mg/kg). Setelah dosis fosphenitoin diberikan bisa ditambah antikonvulsan lain seperti phenobarbital 10-20 mg/kg, 25-50 mg/menit, valproic acid 20 mg/kg atau levetiracetam 20mg/kg. Untuk pasien dengan riwayat idiopatik epilepsi dan resisten terhadap terapi inisial benzodiazepin bida diberikan midazolam, profopol atau phenobarbital sodium (Meierkord H, Boon P, Gocke K, Shorvon S, Tinuper P, & Holtkamp M. (2010); Arif H, Hirsch L, 2008 & Behrouz R, Chen S, Tatum W, 2009).
      Resusitasi cairan untuk menstabilkan volume darah, resusitasi nutrisi pemberian tiamin sebelum dextrose untuk mengatasi hipoglikemia. Pemeriksaan neurologi dilakukan kemudian pemeriksaan laboratorium untuk melihat ancaman kondisi metabolik pasien. Pemasangan kateter urin untuk mengevaluasi sirkulasi sistemik. Pemeriksaan darah lengkap, analisa gas darah, elektrolit, dan fungsi ginjal dan hepar juga skrining toksikologi. Agar diagnosa akurat maka harus dilakukan pemeriksaan Electroencephalografi (EEG) (Brophy G, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck T, Glauser T, et all 2012 & Arif H, Hirsch L, 2008).
     Pada saat pertama mendapati pasien dengan kejang seorang tenaga kesehatan harus bisa menentukan apakah ini kejang epileptik atau kejang yang lain. Walaupun diagnosis epilepsi lebih didasarkan atas gambaran klinis saat terjadi bangkitan (semiologi), namun temuan pemeriksaan EEG dengan interpretasi yang didukung data klinis sering dapat membantu diagnosis. Diantara temuan EEG yang memiliki kemaknaan tinggi pada kasus epilepsi adalah gelombang interictal epileptiform discharges (IED), yaitu gelombang epileptik yng muncul diantara bangkitan. Terdapat konsensus mengenai IED adalah bersifat paroksismal, terdapat perubahan yang tiba-tiba  pada polaritas, spike bila durasi < 70 msec, sharp wave  dengan durasi 70-200 msec, memiliki bentuk fisiologis yang melibatkan lebih dari satu elektrode (Catur A, 2012).
     Status epileptikus tonik klonik dimulai dengan ekstensi otot yang kaku secara tiba-tiba kemudian diikuti kontraksi yang ritmik. Setelah itu pasien menjadi bingung, penurunan kesadaran. Oleh karena itu, pasien yang terdiagnosa status epileptikus harus segera mendapatkan perawatan terutama membutuhkan alat bantu untuk pernapasan berupa ventilator. Beberapa peneliti melaporkan bahwa penggunaan ventilator mode CPAP pada pasien dengan epilepsi berhasil menurunkan frekuensi kejang (Vendrame M, auerbach S, Loddenkemper T, Kothare S, Montouris G, 2011)

III.          PEMBAHASAN
     Status epileptikus merupakan suatu keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Bisa juga dikatakan bahwa apabila seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
     Tujuan utama perawatan adalah menghentikan kegawatdaruratan dan meminimalkan kerusakan otak. Resusitasi dilakukan untuk memperbaiki keadaan metabolik pasien dan terminasi kejang yang harus dilakukan dengan cepat, dengan cara menstabilkan jalan napas, pola napas secara non invasif dengan head tilt untuk mencegah snoring dan pemberian oksigen, apabila onset kejadian sudah lama atau akan diberikan obat anti epileptikus intravena secara kontinyu bisa dilakukan intubasi. Apabila intubasi diperlukan berikan midazolam intravena di loading 0,2 mg/kg diulang setiap lima menit 0,2-0,4 mg/kg secara bolus sampai kejangnya berhenti. Batas dosis maksimum total loading 2 mg/kg.
    Pemberian terapi awal adalah dengan pemberian lorazepam 0,1 mg/kg. Apabila lorazepam tidak tersedia bisa diberikan 10 mg diazepam secara langsung diikuti oleh phenitoin 18 mg/kg. Phenitoin diberikan secara cepat dengan rata-rata infus 50 mg/menit. Tetapi harus diingat bahwa pemberian diazepam dan phenitoin selama 40 menit sebanding dengan pemberian lorazepam selama 5 menit. Terapi benzodiazepin diikuti oleh terapi antikonvulsan (fosphenitoin 10 mg PE/kg atau phenitoin 10 mg/kg). Setelah dosis fosphenitoin diberikan bisa ditambah antikonvulsan lain seperti phenobarbital 10-20 mg/kg, 25-50 mg/menit, valproic acid 20 mg/kg atau levetiracetam 20mg/kg. Untuk pasien dengan riwayat idiopatik epilepsi dan resisten terhadap terapi inisial benzodiazepin bida diberikan midazolam, profopol atau phenobarbital sodium.
     Tn E usia 32 tahun mengalami status epileptikus. Tiga hari yang lalu Tn E kehabisan obat luminal dan tidak mengkonsumsi obat. Sejak 10 jam sebelum masuk ke rumahsakit, Tn E mengalami kejang-kejang berupa mata menghadap keatas, kaku dan klojotan (kejang tonik klonik) di seluruh tubuh. Keluhan dirasakan terus menerus, pasien tidak sadar. Jam 24.00 WIB pasien masuk ke ruang resusitasi IGD RSHS Bandung dalam keadaan penurunan kesadaran, terpasang oropharingeal airways (OPA) no 4, oksigen 10 liter dengan non rebreathing mask, infus terpasang dengan cairan ringer laktat, dipasang monitor EKG dengan BP 123/68 mmHg, HR 133x/Menit, RR 30x/menit. Untuk mempertahankan jalan napas dilakukan intubasi yang sebelumnya diberikan pre medikasi pentanyl 1 ampul IV dan propofol 200gram. Jam 24.05 WIB ETT no 7,5 terpasang dengan kedalaman 21 cm, kemudian dilakukan suction dikarenakan sekret banyak. Jam 24.15 WIB terpasang phenitoin drip 900 mg dalam 50 cc Nacl 0,9 %. kebutuhan 50 mg/jam 18 cc/jam. Jam 24.45 WIB dipasang ventilator mode CPAP dengan FiO2 35% dan PEEP 5. Jam 01.00 WIB midazolam drip 45 mg dalam 45 Nacl 0,9% kebutuhan 2 mg/jam 2cc/jam. Jam 01.30 WIB phenitoin dinaikkan menjadi 22 cc/jam. Jam 01.30 WIB Cek AGD dan elektrolit lengkap. EEG dan CT scan direncanakan untuk dilakukan.
     Pada saat dilakukan pengkajian jam 07.00 WIB klien mengalami penurunan kesadaran, terpasang ventilator mode CPAP dengan FiO2 35% dan PEEP 5. Klien juga terpasang ETT, mayo, produksi sekret (+), DC (+)urin berwarna kuning jernih, infus di tangan kanan dengan cairan ringer laktat. HR 115x/menit, RR 14x/menit, BP 132/82 mmHg, suhu 36 0 c.
     Berdasarkan data diatas Tn E mengalami status epileptikus tonik klonik umum. Hal tersebut merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai. Kejang didahului dengan tonik klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi. Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis pada fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hiperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Tingkat kesadaran  pasien bisa mengalami perubahan bahkan kehilangan kesadarannya. Status epileptikus tonik klonik, banyak berasal dari serangan akut pada otak  dengan suatu fokus serangan. Penyebab status epileptikus yang banyak diketahui adalah infark otak mendadak, anoksia otak, bermacam-macam gangguan metabolisme, tumor otak, menghentikan kebiasaan minuman keras secara mendadak, atau berhenti minum obat anti kejang.      
     Tn E menderita epilepsi idiopatik sejak umur 7 bulan. Dia terus menerus mengkonsumsi phenitoin dan luminal. Tiga hari yang lalu Tn E kehabisan obat luminal dan tidak mengkonsumsi obat. Sehingga bisa disimpulkan bahwa Tn E mengalami status epileptikus tonik klonik umum karena putus obat/ berhenti minum obat anti kejang.

IV.          SIMPULAN DAN SARAN
1.    Simpulan
Status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan sistem neurologi yang sering terjadi, yang memerlukan penatalaksanaan secara cepat dan tepat dimana pasien berada dalam ancaman kematian karena adanya penurunan perfusi ke otak yang dapat menyebabkan kerusakan otak yang irreversibel. Jika terlambat dilakukan penanganan, maka prognosisnya akan memburuk dan berakibat fatal bahkan dapat menimbulkan ancaman kematian pada pasien. Sehingga hal ini dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.
2.    Saran
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah keterlambatan penanganan. Edukasi kepada keluarga sangat penting dilakukan untuk pre hospitalnya.


DAFTAR PUSTAKA
Arif H, Hirsch L. (2008). Treatment of Status Epilepticus. Associate Clinical Professor of Neurologi

Behrouz R, Chen S, Tatum W. (2009). Evaluation and Management of Status Epilepticus in The Neurological Intensive Care Unit. JAOA. Volume 109

Brophy G, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck T, Glauser T, et all. (2012). Guidelines for The Evaluation and Management of Status Epilepticus. Neurocriticalcare society. Volume 17

Catur A. (2012). Pemeriksaan EEG untuk diagnosis dan monitoring pada kelainan neurologi. Medica Hospitalia. Volume 1
Meierkord H, Boon P, Gocke K, Shorvon S, Tinuper P, & Holtkamp M. (2010). EFNS guideline on the management of status epilepticus in adult. European Journal of Neurology. Vol 17 : 348-355

Vendrame M, auerbach S, Loddenkemper T, Kothare S, Montouris G. (2011). Effect of continuous positive airway pressure treatment on seizure control in patients with obstructive sleep apneua and epilepsy. Epelepsia. Vol 52 (11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LATIHAN SOAL KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Bismillah Assalaamualaikum Warohmatullohi Wabarakatuh. Jadi Ingat Peribahasa dari Bahasa Sunda yang bunyinya "Cikaracak Ninggang Batu L...